ADAB-ADAB DALAM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR - Copy Vaste
Headlines News :
Home » , » ADAB-ADAB DALAM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

ADAB-ADAB DALAM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR

Written By Copy Paste on Sabtu, 11 Februari 2012 | 17.33

<< Kembali  Next >>
 1. Ikhlas.

Yakni hendaknya dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dia mengharapkan dengannya wajah Allah, mengajak manusia menuju jalan-Nya, dan beribadah hanya kepada-Nya. Inilah keikhlasan, barangsiapa yang yang beramal dengan amalan apa saja -termasuk di dalamnya amar ma’ruf dan nahi mungkar- tanpa dilandasi oleh keikhlasan maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian, siksaan yang pedih, dan semakin jauh dari Allah. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ مَعِي فِيْهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang dia persekutukan Saya dengan selain Saya dalam amalan tersebut, maka Saya akan tinggalkan dia dan sekutunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Oleh karena itulah dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, seseorang hendaknya meniatkan dengannya untuk mengangkat agama Allah, bukan untuk mengajak manusia kepada diri atau kelompoknya, atau untuk mendapatkan kedudukan dan harta dari mereka, dan bukan juga untuk mendapatkan penghargaan, penghormatan dan ucapan terima kasih dari mereka. Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan, “Katakanlah, [“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik]”. (QS. Yusuf : 108)

Dan juga dalam firman-Nya menghikayatkan ucapan penghuni surga, “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”. (QS. Al-Insan : 9)
Dan Nabi Nuh, Hud, Sholih, Luth, dan Syu’aib -’alaihimus salam- semuanya telah mengatakan -sebagaimana dalam firman-Nya-, “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”. (QS. Asy-Syu’ara` : 109, 127, 145, 164, dan 180)

2. Ilmu

Adab ini tidak menunjukkan bahwa tidak ada yang boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar kecuali seorang ulama, karena kalau demikian halnya maka akan terlantarlah ibadah yang sangat agung ini mengingat jumlah ulama di zaman-zaman belakangan ini sangatlah sedikit. Akan tetapi yang diinginkan adalah hendaknya orang-orang yang akan menegakkan urusan yang besar ini haruslah mengilmu perkara yang akan dia perintahkan dan mengilmui perkara yang dia akan larang darinya, kalau tidak demikian maka terkadang dia malah akan memerintahkan sesuatu yang mungkar atau melarang dari suatu yang ma’ruf, yang akibatnya menimbulkan banyak kerusakan dan kerancuan. Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan, “Katakanlah, (“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik)”. (QS. Yusuf : 108)

Umar bin Abdil Aziz -rahimahullah- menyatakan, “Barangsiapa yang menyembah Allah tanpa didasari ilmu maka kerusakan yang dia timbulkan akan lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki”.

3. Suri Tauladan yang Baik.

Termasuk adab yang sangat penting yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang akan mengemban amalan yang mulia ini adalah hendaknya dia menjadi suri taulan yang baik bagi orang-orang di sekitarnya dengan cara mengamalkan apa yang dia sendiri telah ucapkan, maka hendaknya dia mengamalkan apa yang dia telah perintahkan dan menjauhi apa yang dia sendiri telah larang. Betapa banyak kaum muslimin yang menghendaki kebenaran dan kebaikan malah menolak kebenaran dan kebaikan tersebut karena melihat orang yang mengajaknya  malah menyelisihi apa yang dia sendiri telah ucapkan. Dan telah berlalu dalil-dalil yang menegaskan ancaman bagi orang-orang yang amalannya menyelisihi apa yang dia ucapkan.
Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- memiliki ucapan yang sangat baik dalam hal ini ketika beliau mentahdzir dari para ulama yang menjadi suri tauladan yang jelek di tengah-tengah masyarakat. Beliau menyatakan, “Para ulama yang jelek, mereka itu duduk-duduk di depan pintu surga sambil mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan uacapan-ucapan mereka, akan tetapi mereka (para ulama jelek tersebut) mengajak mereka (manusia) untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan-perbuatan mereka. Maka setiap kali ucapan-ucapan mereka berseru, (“marilah kalian (masuk ke dalam surga)”), maka perbuatan-perbuatan mereka akan berseru, (“Jangan kalian dengarkan mereka (ucapan-ucapan itu), karena seandainya apa yang mereka serukan adalah benar maka tentunya merekalah yang terlebih dahulu akan mengamalkannya”). Maka mereka (para ulama jelek itu) berwujud penunjuk jalan akan tetapi pada hakihatnya mereka adalah penyamun di jalan”. (Al-Fawaid hal. 112)

4. Lemah Lembut dan Kasih Sayang

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah mengingatkan Nabi-Nya, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- juga telah bersabda:
يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah Maha Lembut, Dia mencintai kelembutan dalam setiap perkara”. (HR. Bukhary-Muslim dari Aisyah)

Dan dalam sabda beliau yang lain:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan tidaklah berada pada seuatu kecuali akan menghiasi (memperindah) sesuatu tersebut, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu kecuali akan memperjelek sesuatu tersebut”. (HR. Muslim dari Aisyah)

Dan semoga cukup menjadi pelajaran, apa yang terjadi antara Musa -’alaihis salam- dengan Fir’aun, tatkala Allah -Subhanahu wa Ta’ala- mengutus Musa dan Harun kepada Fir’aun dengan firman-Nya, “Pergilah kalian berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoha : 43-44)

Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh -hafizhohullah- menyebutkan sebuah kisah yang berhubungan dengan ayat di atas, beliau berkata, “Harun Ar-Rosyid -rahimahullah- pernah thawaf di Ka’bah, lalu beliau dikenal oleh seorang lelaki, maka lelaki tersebut berkata, “Wahai Harun, saya mau berbicara kepadamu dan saya akan keras dalam berbicara, dan saya akan memperingatkan kamu dan akan kasar kepadamu”, maka beliau berkata, “Wahai kamu -semoga tidak ada orang yang mau mendengarkan ucapanmu-, karena sesungguhnya saya tidaklah saya lebih jelek daripada Fir’aun dan tidak juga engkau lebih baik daripada Musa, sedangkan Allah -Jalla wa ‘Ala- telah memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut”.

Oleh karena itulah sebagian ulama ada yang mengatakan, “Hendaknya cara kamu dalam memerintah kepada yang ma’ruf adalah cara yang ma’ruf dan hendaknya cara kamu melarang dari kemungkaran bukan dengan cara kemungkaran”.

Dan satu hal yang harus selalu diingat oleh setiap orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah bahwa lawan bicaranya adalah seseorang yang masih berstatus muslim dan belum keluar darinya, yang mana keharusannya dia (lawan bicaranya) masih berhak mendapatkan pertolongan dari kaum muslimin yang lain.

5. Sabar dan Tidak Gegabah

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam menafsirkan firman Allah -Ta’ala-, “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu”. (QS. Luqman : 17)

Beliau menyatakan, “[Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar] yakni sesuai dengan kemampuan dan usahamu, [dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu] mengingat bahwa orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan yang melarang dari yang mungkar pastilah akan mendapatkan gangguan dari manusia, karenanya beliau (Luqman) memerintahkan (anak)nya untuk bersabar”.
Asy-Syaikh Taqiyuddin -rahimahullah- berkata,
“Bersabar atas gangguan dari makhluk ketika menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, jika tidak diterapkan maka akan mengharuskan terjadinya salah satu dari dua perkara: meniadakan (membatalkan) perintah dan larangan (yang diserukan) ataukah akan terjadi fitnah dan kerusakan yang lebih besar dibandingkan -atau sama dengan atau mendekati- kerusakan (yang timbul akibat) meninggalkan perintah dan (melanggar) larangan, dan keduanya adalah maksiat dan kerusakan. Allah Ta’ala berfirman,
: “dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. Maka barangsiapa yang memerintah (yang ma’ruf atau melarang dari kemungkaran, pen.) tapi tidak bersabar, atau bersabar tapi tidak memerintah, atau tidak memerintah dan tidak bersabar maka dari ketiga perkara ini akan muncul kerusakan, yang merupakan kebaikan hanyalah ada ketika dia memerintah dan bersabar”. (Al-Adab Asy-Syar’iyah: 1/176-177)

6. Mengecek Kebenaran.

Termasuk di antara sifat yang sepantasnya dimiliki oleh orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah sifat tatsabbut (mengecek kebenaran) terhadap suatu berita dan tidak mengambil tindakan -baik memerintah maupun melarang- dengan berlandaskan pada sangkaan semata. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman, mendidik kaum mukminin dalam masalah ini, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat : 6)

Ibnu Katsir -rahimahullah- menyatakan, “(Allah) Ta’ala memerintahkan untuk tatsabbut terhadap berita dari orang fasik agar berhati-hati darinya, agar jangan sampai mengambil suatu hukum dari ucapannya padahal ternyata beritanya dusta atau salah. Dan sungguh Allah -’Azza wa Jalla- telah melarang untuk mengikuti jalannya orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/220)

Adapun jika seseorang mengingkari suatu kemungkaran yang belum terjadi atau kemungkaraan yang dia sangka akan terjadi, maka hal ini hanya akanmenimbulkan mudhorot dan bahaya yang banyak, bahkan terkadang timbul darinya kerusakan yang banyak dan lebih besar dibandingkan kemungkaran yang dia sangka akan terjadi.

7. Hikmah.

Ini adalah kewajiban yang Allah perintahkan kepada setiap orang yang mengajak manusia ke jalan-Nya, termasuk di dalamnya orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Allah -’Azza wa Jalla- berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)
Dan juga Allah -Ta’ala- menyatakan,
“Allah menganugrahkan al hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak”. (QS. Al-Baqarah : 269)

Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Seseorang dikatakan memiliki hikmah dalam berdakwah jika telah memenuhi empat perkara, yaitu:
1.    Mengetahui jenjang-jenjang dalam berdakwah.

Jenjang-jenjang ini diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- yang masyhur tentang kisah pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Mu’adz:
فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ محمدا رَسُولُ اللَّهِفي رواية: إلى أن يوحدوا الله- فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Maka hendaknya yang pertama kali kamu ajak mereka kepadanya adalah agar mereka bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah -dalam suatu riwayat: agar mereka mentauhidkan Allah-. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka 5 kali sholat sehari-semalam. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada rang-orang yang miskin di antara mereka”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itulah, bukan termasuk hikmah bila orang yang mau mengenal Islam langsung diajar mengenai tata cara sholat atau langsung disebutkan perintah-perintah dan larangan-larangan dalam Islam -selain yang berkaitan dengan tauhid- padahal dia mungkin masih meyakini sebagian akidah kekafiran. Demikian halnya menyuruh seseorang mengerjakan sholat witir, padahal orang tersebut adalah orang yang jarang mengerjakan sholat wajib atau dia mengerjakan sholat wajib tapi di rumah. Ini bukanlah hikmah, karena sholat witir adalah sunnah, sedangkan sholat 5 waktu di mesjid hukumnya adalah wajib, dan demikian seterusnya.

2.    Mengetahui jenjang-jenjang mad’uw (sasaran dakwah).

Karena tergelincir ke dalam suatu kesalahan -baik dengan meninggalkan suatu perintah maupun mengerjakan suatu larangan- adalah suatu kepastian bagi setiap orang, tidak perduli apakah dia serang pemerintah atau rakyat, orang yang berilmu atau orang jahil, orang tua maupun anak, tua maupun muda, dewasa atau anak kecil, pria maupun wanita, semuanya pasti akan tergelincir ke dalam kesalahan. Oleh karena itulah termasuk hikmah dalam berdakwah, hendaknya setiap orang dari mereka yang terjatuh ke dalam kesalahan ditegur sesuai dengan tingkatan ilmu, pemahaman, dan hak mereka masing-masing. Maka pemerintah dinasehati dengan lemah lembut dan dengan sembunyi-sembunyi (tidak dipublikasikan), anak menasehati orang tuanya dengan lemah lembut serta tidak dengan suara yang keras dan kasar, sedangkan orang tua boleh bersuara keras dan menghardik sang anak dalam menasehatinya, metode dalam menasehati anak-anak tentunya tidak sama ketika kita menasehati orang dewasa, demikian pula antara pria dan wanita ada cara menegur yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di antara manusia ada yang mau menerima jika ditegur dengan lembut dan ada di antara mereka yang tidak akan menerima kecuali setelah dikerasi, di antara mereka ada yang paham teguran dalam bentuk isyarat dan di antara mereka ada yang harus ditegur dengan jelas, dan demikian seterusnya.
Dan telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menghardik dengan keras para sahabat beliau yang menyepelekan sebagian perintah karena mereka telah mengetahui kewajiban untuk mencucui kaki, dan sebaliknya beliau berlemah lembut kepada orang badui ketika melakukan suatu kemungkaran yang nyata dan besar karena dia adalah orang yang jahil tentang hukum Islam. Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada para sahabat yang lalai dalam mencuci tumit-tumit mereka saat berwudhu:
وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ, قَالَهَا ثَلاَثًا
“Celakalah bagi tumit-tumit dari api nereka”, beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Muslim dari Aisyah -radhiallahu Ta’ala ‘anhum-).

Beliau juga telah menasehati dengan lemah lembut Mu’awiyah ibnul Hakam As-Sulamy tatkala beliau berbicara di dalam sholat sebagaimana yang Mu’awiyah -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- sendiri ceritakan:
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tatkala saya sedang sholat (berjama’ah) bersama (baca: di belakang) Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- maka tiba-tiba ada seorang lelaki dari jama’ah sholat yang bersin, sayapun berkata (mendo’akannya), ”Semoga Allah merahmatimu (arab: yarhamukallah), lalu para jama’ah memandangi saya, maka saya berkata, “Wahai celakanya ibuku, ada apa dengan kalian, (kenapa) kalian memandangi saya?!”. Mereka lalu memukulkan tangan-tangan mereka ke paha-paha mereka, maka tatkala saya mengatahui (bahwa) mereka menyuruh saya diam,sayapun diam. Maka Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah selesai sholat, maka -demi Ayah dan ibuku- saya tidak pernah melihat seorangpun pendidik yang lebih baik didikannya sebelum dan setelah beliau, maka -demi Allah-, beliau tidak menghardik saya, tidak memukul saya, dan tidak mencela saya, beliau (hanya bersabda, [“Sesungguhnya sholat ini, tidak pantas ada ucapan manusia di dalamnya, akan tetapi tidak ada di dalamnya kecuali hanya tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur`an”] atau sebagaimana yang beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sabdakan”. (HR. Muslim)

3.    Mengetahui jenjang-jenjang perintah dan larangan.

Yakni hendaknya dalam berdakwah, dia memprioritaskan yang paling penting baru kemudian yang paling penting setelahnya, yang paling wajib baru kemudian yang paling wajib, yang sunnah mu`akkadah baru kemudian yang sunnah gairu mu`akkadah, dan seterusnya. Demikian pula dalam ketika melarang, maka dia prioritaskan yang paling mungkar baru kemudian yang paling mungkar setelahnya, yang paling haram baru kemudian yang paling haram setelahnya, dan seterusnya.

Misalnya ada seseorang yang jarang mengerjakan sholat, di samping itu dia juga musbil (mengulurkan kain melewati mata kaki) atau memotong jenggotnya, maka bukan termasuk hikmah jika dia langsung menyuruhnya untuk mengangkat pakaiannya atau melarang memotong jenggotnya. Walaupun kita tidak ragu bahwa keduanya merupakan dosa besar, akan tetapi perkara sholat jauh lebih penting di bandingkan keduanya.

4.    Mampu mengukur kadar maslahat dan mafsadah.
Perkara ini termasuk yang paling sulit dalam bab amar ma’ruf dan nahi mungkar, yang jelas kesimpulannya sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah -rahimahullah-, dalam I’lam Al-Muwaqqi’in (3/4) beliau menyatakan, “Sungguh Allah -Subhanahu- telah mensyari’atkan atas umat-Nya kewajiban untuk mengingkari kemungkaran agar muncul kebaikan yang dicintai oleh allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itulah jika dalam mengingkari suatu kemungkaran mengharuskan munculnya sesuatu yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka (ketika itu) tidak diperbolehkan untuk mengingkarinya (kemungkaran tersebut), walaupun Allah membenci hal tersebut dan memurkai pelakunya. Mengingkari kemungkaran ada empat jenjang:
ØPertama: Kemungkarannya sirna dan digantikan oleh lawannya berupa kebaikan.
Ø  Kedua: Kemungkarannya berkurang walaupun secara umum kemungkaran tersebut masih ada.
Ø  Ketiga: (Kemungkarannya sirna) tetapi digantikan oleh kemungkaran yang semisalnya.
Ø  Keempat: (Kemungkarannya sirna) tetapi digantikan oleh kemungkaran yang lebih jelek darinya.
Dua jenjang yang pertama disyari’atkan, (jenjang) ketiga adalah letak ijtihad, dan yang keempat diharamkan”.
Lihat perincian masalah ini dalam kitab Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar karya Ibnu Taimiyah, tahqiq Sholahud Din Al-Munajjid hal. 12 dan 21-22 dan Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah (20/57-59, 28/129-130)

Contohnya, ada sekelompok lelaki yang bermajelis untuk saling membacakan Al-Qur`an padahal di depan mereka sedang terjadi kemungkaran terang-terangan yang mereka bisa mengubahnya. Maka tindakan ini tentunya bukan merupakan hikmah, walaupun membaca Al-Qur`an adalah ibadah, akan tetapi waktunya luas dalam artian bisa dikerjakan kapan dan dimana saja, sedangkan sekarang ada kemungkaran yang harus segera dirubah. Contoh lain, ada seseorang yang berdzikir setelah sholat subuh sampai terbitnya matahari, padahal di rumahnya ada orang-orang yang kebiasaannya tidak bangun untuk sholat subuh jika tidak dibangunkan. Maka yang seharusnya dia pulang dan membangunkan keluarganya, walaupun berdzikir sampai matahari terbit memiliki keutamaan yang besar akan tetapi sekarang maslahat mengharuskan untuk ditinggalkan sementara.

8. Tidak Putus Asa.
Memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar terkadang harus dilakukan berulang-ulang kali terhadap orang yang sama, oleh karena itulah seseorang hendaknya jangan cepat menyerah dan putus asa lalu menyangka bahwa ucapannya tidak akan didengarkan atau menyangka bahwa orang tersebut sudah tidak mungkin mendapatkan hidayah dan seterusnya. Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan, “Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya”. (QS. Fathir : 2)

Dan Allah juga telah menegaskan, “Dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf : 87)
{Lihat: Haqiqatul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar hal. 73-104, Ahkamul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar karya Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh dan Al-Qaulul Bayyinul Azhhar fid Da’wati ilallahi hal. 51-57]

HADIST-HADIST TENTANG AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR


عن ابن مسعود  رضي الله عنه : ان رسول الله ص م قال : ما من نبي بعثه الله في امة قبلي الا كان له امته حواريون واصححاب ياخذون بسنته و يقتدون بامره, ثم انها تخلف من بعدهم خلوف يقولون مال لا يفعلون, و يفعلون ما لا يؤمرون, فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن و من جاهدهم بلسانه فهو مؤمن, ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن, ليس وراء ذلك من الاءيمان حبة خرذل (رواه مسلم)

Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: Nabi-nabi yang diutus sebelum aku pasti didampingi sahabat-sahabat yang setua. Mereka mengikuti sunnahnya dan mengerjakan sesuatu yang diperintahkan. Sesudah mereka, munculah orang-orang yang suka berbicara dan tidak suka beramal. Mereka berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan. Barang siapa yang memerangi mereka dengan tanganya, maka ia adalah orang yang beriman. Barang siapa yang memerangi mereka dengan lisanya, ia termasuk orang yang beriman. Barang siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia juga temasuk orang yang beriman. Selain itu, tidak ada lagi iman walaupun sekecil biji sawi.” (H.R. Muslim)

Pendapat yang menyatakan tentang kebolehan memerangi penguasa yang dhalim dan fasiq merupakan pendapat sebagian (kecil) ulama Ahlus Sunnah serta seluruh golongan Mu’tazillah, Khawarij, dan Zaidiyyah. Bahkan mereka mewajibkannya dalam kondisi-kondisi tertentu. Al-Imam Ibnu Hazm menisbatkan pendapat ini pada semua shahabat yang terlibat di masa fitnah pada kekhalifahan ’Ali, Mu’awiyyah, dan setelah itu seperti terjadinya peristiwa Al-Harrah [lihat Al-Fashlu fil-Milal wan-Nihaal juz 5 hal. 20]. Mereka berhujjah dengan keumuman ayat sebagaimana telah disebutkan dalam perkataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary di atas. Sebagian penulis kontemporer juga turut andil dalam menguatkan pendapat ini dalam berbagai tulisannya. Dalam membangun pendapatnya, mereka juga berhujah dengan beberapa riwayat sebagai berikut :
عن هشيم وإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما من قوم يعمل فيهم بالمعاصي ثم يقدرون على أن يغيروا ثم لا يغيروا إلا يوشك أن يعمهم الله منه بعقاب
Dari Hasyim ia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : Tidaklah suatu kaum dimana kemaksiatan-kemaksiatan dikerjakan pada mereka, kemudian mereka mampu untuk merubahnya namun mereka tidak melakukannya, niscaya Allah akan menurunkan kepada mereka hukuman (HR. Abu Dawud no. 4338, Tirmidzi no. 2168 dan 3057, Ibnu Majah no. 4005, Ahmad no. 16)
عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah (HR. Muslim no. 49, Abu Dawud no. 1140, Ahmad no. 11088)
مَثَلُ الْقَائِمِ فِي حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ, فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا, فَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ, فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا, فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا, وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا
“Perumpamaan orang yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah dan orang yang melanggarnya seperti sebuah kaum yang mengadakan undian di atas sebuah perahu ; (maka) sebagian mereka mendapatkan bagian atasnya dan sebagian yang lain bagian bawahnya. Adapun orang yang berada di bawah jika mereka mau mengambil air, mereka melalui orang-orang yang berada di atas mereka, maka merekapun berkata, “Seandainya kami membuat sebuah lobang pada bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Jika mereka (orang-orang yang di atas) membiarkan mereka (orang-orang yang di bawah) dan apa yang mereka inginkan maka mereka akan binasa (tenggelam) seluruhnya dan jika mereka (orang-orang yang di atas) mengambil tangan-tangan mereka (orang-orang yang di bawah) maka mereka akan selamat seluruhnya”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari (2361) dan Imam At-Tirmidzi (2173) dari jalan Asy-Sya’bi ‘Amir bin Syarahil dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma.
Imam At-Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits di atas, “Ini adalah hadits hasan shahih,” dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah no. 69.
Kosa Kata Hadits:
  1. “yang tegak melaksanakan aturan-aturan Allah” mereka adalah orang yang mengingkari kemungkaran dan yang tegak menolak dan menghilangkan kemungkaran tersebut.
  2. “aturan-aturan Allah” yang diinginkan dengannya adalah semua perkara yang Allah larang.
  3. “orang yang melanggarnya” mereka adalah orang yang mengerjakan kemungkaran tersebut.
  4. “berlomba” yakni mengadakan undian, siapa di antara mereka yang berada di bagian atas perahu dan siapa di antara mereka yang tinggal di bagian bawah.
  5. “mengambil tangan-tangan mereka” maksudnya mereka (orang-orang yang di atas) melarang dan mencegah mereka dari apa yang mereka inginkan berupa membocori perahu.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Ar-Rojihi -hafizhohullah- berkata di dalam kitab beliau Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 26, Hadits ini adalah hadits yang agung dan memiliki kedudukan yang mulia, para ulama telah mengambil darinya banyak faidah yang agung dalam masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar”

<< KembaliNext >>




Ingin Belajar Bisnis Online..... "Disini Tempatnya"



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Pengelola Website | Rahasia Wabsite Pemula
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Copy Vaste - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template