Sisi Pendalilannya - Copy Vaste
Headlines News :
Home » » Sisi Pendalilannya

Sisi Pendalilannya

Written By Copy Paste on Sabtu, 11 Februari 2012 | 17.21


<< Kembali  |  Next >>

Sisi pendalilannya, bahwa bertafaqquh dalam agama Allah -Azza wa Jalla- adalah fardhu kifayah, karena Allah -Azza wa Jalla- meminta sebahagian kaum mukminin untuk keluar (berperang) dan Dia tidak meminta seluruh kaum mu`minin untuk keluar menuntut ilmu, dan tanggung jawab untuk memperingatkan dan menyampaikan ajaran agama terletak atas mereka yang bertafaqquh dan yang menuntut ilmu, bukan atas seluruh kaum muslimin. Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (8/293) dan Fathul Qodir (2/434).
Faidah:
1. Imam An-Nawawi -rahimahullah- menyatakan di dalam Zawa`idur Raudhoh hal. 22, “Orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu kifayah memiliki keistimewaan (kelebihan) dibandingkan orang yang tegak melaksanakan (amalan yang) fardhu ain, ditinjau dari sisi bahwasanya dia (orang yang mengerjakan fardhu kifayah) telah menggugurkan dosa dari dirinya dan dari kaum muslimin. Dan imam Al-Haromain telah berkata dalam Al-Ghiyats, [“Yang saya lihat bahwa orang yang tegak melaksanakan fardhu kifayah lebih afdhol daripada (orang yang melaksanakan yang) fardhu ‘ain, karena jika orang yang mengerjakan fardhu ‘ain ini meninggalkan amalan tersebut maka yang mendapat dosa hanya dirinya, dan seandainya dia menlaksanakannya maka gugurnya kewajiban hanya terkhusus pada dirinya. Adapun (orang yang melaksanakan yang) fardhu kifayah, jika dia meninggalkannya maka semuanya akan berdosa, dam jika dia melaksanakannya maka akan gugur dosa dari seluruhnya, maka pelakunya (fardhu kifayah) berusaha untuk menjaga umat dari dosa. Dan tidak ada keraguan akan lebih utamanya orang yang menempati tempatnya kaum muslimin seluruhnya dalam menegakkan suatu perkara penting dari perkara-perkara penting dalam agama, wallahu A’lam”. (Lihat Tanbihul Ghofilin hal. 17-18.)

2. Walaupun hukum asal dari amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi dia bisa menjadi fardhu ‘ain dalam beberapa keadaan, yaitu:

a. Bagi al-muhtasib. Muhtasib adalah suatu lembaga khusus yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah yang syah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar di suatu negara.
Imam Al-Mawardy berkata dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 391, “Sesungguhnya, kewajibannya adalah ‘ain bagi al-muhtasib ”

b. Bersendirian dalam memiliki suatu ilmu.
Imam An-Nawawy berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu kifayah, akan tetapi terkadang dia bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia”. (Lihat Syarh Muslim: 2/23)

c. Terkhususnya kemampuan atas orang-orang tertentu.

Imam An-Nawawi -rahimahullah- menyatakan, “Amar ma’ruf dan nahi mungkar terkadang bisa menjadi fardhu ‘ain jika dia berada pada suatu perkara yang tidak ada yang mampu untuk mengangkatnya kecuali dia, misalnya seseorang yang melihat istrinya atau anaknya atau budaknya berbuat kemungkaran atau menyepelekan kebaikan”. (Syarh Muslim: 2/23)

d. Ketika keadaan berubah.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah- berkata, “... Maka ketika berkurangnya da’i dan bertambah banyaknya kemungkaran, dan ketika kebodohan (terhadap agama) mendominasi -seperti keadaan kita di zaman ini-, maka berdakwah (hukumnya) adalah fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”. (Ad-Da’wah Ilallahi wa Akhlaqud Du’at hal. 16)
Sebagaimana kewajiban-kewajiban syari’at yang lain, jika dia ditinggalkan maka akan mengakibatkan banyak kejelekan dan kerusakan. Demikian halnya dengan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar, kapan ditinggalkan padahal dia mampu untuk melaksanakannya, maka akan timbul kejelekan dan kerusakan yang banyak. Berikut di antaranya:

1. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar padahal dia mampu adalah orang yang telah berbuat maksiat, walaupun dia sendiri tidak mengerjakan kemungkaran tersebut, karena meninggalkan maksiat dan melarang dari yang mungkar keduanya merupakan kewajiban dalam agama yang jika ditinggalkan salah satunya maka berarti dia telah berbuat maksiat kepada Tuhannya.

2. Diam dari kemungkaran menunjukkan akan penyepelean dia terhadap maksiat dan menganggap enteng perintah-perintah dan larangan-larangan Allah.

3. Orang yang Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar telah kehilangan kecemburuan terhadap larangan-larangan Allah, dan ini merupakan tanda yang besar akan kurangnya pengagungan dia terhadap Allah -Ta’ala-.

4. Diam dari kemungkaran mendorong para pelaku maksiat dan kefasikan untuk memperbanyak maksiat dan kefasikan mereka, hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang mencegah atau minimal menasehati mereka sehingga mereka (para pelaku maksiat) bertambah keberanian dan kekuatannya, dan sebaliknya keberanian dan kekuatan ahlil iman akan melemah.

5. Meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar akan menyebabkan sirnanya imu dan merebaknya kebodohan tentang agama. Karena maksiat, jika dia dilakukan terus-menerus oleh banyak manusia tanpa adanya pengingkaran dari orang-orang yang berilmu, maka orang yang bodoh akan menyangkan bahwa perbuatan tersebut bukanlah maksiat bahkan terkadang dia menganggapnya sebagai suatu ibadah yang baik. Dan kerusakan apakah yang lebih besar daripada meyakini halalnya apa yang Allah haramkan, atau memandang benar suatu kebatilan?!

6. Sesungguhnya mendiamkan kemungkaran ketika para pelaku maksiat melakukan kemaksiatan secara terang-terangan merupakan persetujuan, izin, serta seruan untuk mencontoh dan mengikuti pelaku maksiat tersebut.
Karena banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dari mendiamkan kemungkaran, maka wajar jika mendiamkan kemungkaran -padahal dia mampu untuk mencegah atau menghilangkannya- mengharuskan adanya siksaan hissiah (yang dirasakan oleh panca indera) atau ma’nawiyah. Dan sebesar-besar siksaan yang menimpa manusia adalah siksaan ma’nawiyah berupa matinya hati sehingga dia tidak mengetahuinya baiknya kebaikan dan mungkarnya kemungkaran, tidak membenarkan kebenaran dan tidak menyalahkan kebatilan, tidak bisa membedakan antara yang baik dengan yang jelek. Adapun siksaan hissiyah berupa (kebinasaan) pada harta, jiwa, dan anak-anak, atau dengan dikuasakannya musuh atas mereka. (Lihat Al-Qaulul Bayyinul Azhhar hal. 118-119)
D. Syarat-Syarat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar

Perlu diketahui bahwasanya hukum wajib yang telah dijelaskan di atas, nantilah berlaku jika telah terpenuhi syarat-syarat terlaksananya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Imam Ibnun Nuhhas -rahimahullah- berkata dalam Tanbihul Ghofilin hal. 33, “Disyaratkan akan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar 3 syarat: Islam, mukallaf, dan mempu”. Berikut uraiannya :

1. Islam. Karena tujuan amar amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah untuk menegakkan syari’at Allah dan untuk menyuruh manusia melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan, dan hal ini tidak boleh dikerjakan oleh seorangpun kecuali oleh seorang yang muslim.

2. Mukallaf, dalam artian memiliki akal dan telah balig. Akan tetapi jika ada anak kecil yang mengingkari kemungkaran, maka hal itu diperbolahkan dan tidak boleh ada seorangpun yang melarangnya, karena hal itu adalah ibadah dan dia berhak untuk melakukannya walaupun belum wajib atasnya. Demikian pula wajib atas budak dan wanita jika memiliki kemampuan.

3. Mampu. Ini merupakan syarat wajib untuk seluruh ibadah, karena Allah swt telah menegaskan di dalam firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir” (QS. Al-Baqarah : 286)

Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata menafsirkan ayat di atas, “Yaitu tidak ada seorang pun yang dibebani melebihi kemampuannya, dan ini adalah dari kelembutan (Allah) -Ta’ala- kepada para makhluk-Nya, kasih sayang-Nya kepada mereka, dan kebaikan-Nya kepada mereka”. (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim: 1/342)

Bagi orang yang tidak bisa membela dirinya jika ditimpakan kepadanya mudarat, apakah karena tubuhnya yang lemah atau karena tidak memiliki kekuatan atau karena yang lainnya, maka di sini ada beberapa keadaan:

a. Dia yakin/mempunyai dugaan besar bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan dia akan dipukul jika berbicara, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.

b. Dia yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna dengan sebab ucapan atau amalannya dan tidak akan mengantarkan dia kepada perkara yang dibenci, maka yang seperti ini wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar.

c. Dia yakin pengingkarannya tidak akan bermanfaat, hanya saja dia takut perkara yang dia benci -misalnya dipukul atau yang lainnya-, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan tetapi disunnahkan baginya amar ma’ruf dan nahi mungkar untuk menampakkan syi’ar-syi’ar Islam dan untuk mengingatkan manusia terhadap perkara-perkara agama.

d. Dia yakin akan tertimpa perkara yang dia benci, akan tetapi dia juga yakin bahwa kemungkaran tersebut akan sirna jika dia mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang sanggup melempar dan memecahkan gentong tempat khamar milik seseorang yang fasik, dan dia yakin bahwa orang fasik tersebut akan mendatanginya dan memukulnya, maka yang seperti ini tidak wajib atasnya amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga diharamkan atasnya, akan tetapi disunnahkan baginya untuk melaksanakannya.

Catatan:
Bukan tergolong tidak mampu jika dia tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya dikarenakan oleh perasaan sungkan kepada orang yang akan diingkari, bahkan ini termasuk ke dalam larangan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam sabda beliau:
أَلآ لاَ يَمْنَعَنَّ رَجُلاً هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُوْلَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ
“Ketahuilah, jangan sekali-kali seseorang terhalangi untuk mengucapkan yang benar -jika dia mengetahuinya- hanya dikarenakan dia sungkan kepada manusia (yang lain)”. (HR. Ibnu Majah dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudry dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Sunan Ibni Majah: 2/368/4007).
Ketiga perkara di atas disyaratkan ada pada diri orang yang mau melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Adapun perbuatan yang akan diingkari, maka disyaratkan padanya empat syarat, yaitu:

4. Dia jelas merupakan kemungkaran dalam syari’at berdasarkan nash Al-Qur`an atau hadits atau ijma’, baik kemungkarannya besar maupun kecil, baik kemungkaran tersebut dilakukan oleh mukallaf atau bukan. Maka wajib mengingkari anak kecil atau orang gila yang berbuat kemungkaran.

5. Kemungkaran tersebut ada. Dalam hal ini ada tiga keadaan:

a. Dia (pelaku maksiat tersebut) belum melakukan kemungkaran akan tetapi dia (pelaku kemungkaran) sudah memiliki tekad yang kuat (arab: hamma) untuk melakukannya, ini diketahui dengan adanya pendahuluan-pendahuluan atau tanda-tanda atau isyarat-isyarat yang kuat menunjukkan akan terjadinya maksiat tersebut. Misalnya ada seorang lelaki yang tiap hari berdiri di depan pintu gerbang sekolah wanita untuk bisa melihat salah seorang di antara mereka atau dia (orang yang melakukan nahi mungkar) tidak sengaja mendengarkan percakapan telepon antara seorang lelaki dan wanita yang bukan mahramnya dengan suara yang mesra dan mereka (lelaki dan wanita itu) membuat janji untuk bertemu. Maka pada kedua keadaan ini dan yang semisal dengannya, yang wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan mengingatkan lelaki tersebut serta mentarhibnya dengan ancaman-ancaman Allah -’Azza wa Jalla-, akan tetapi dengan cara yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, tidak dengan tangan (pemukulan) atau meninggikan suara (membentak) atau menyebarkannya kepada orang lain.

b. Dia sedang mengerjakan kemungkaran tersebut, misalnya ada seseorang yang duduk dan didepannya ada cerek berisi khamar yang dia sedang minum darinya, atau seseorang (lelaki) yang memasukkan wanita yang bukan mahramnya ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mencegah dan melarangnya sesegera mungkin dengan cara apapun juga jika dia mampu melakukannya. Al-Qhodhi Iyadh -sebagaimana dalam Syarh Muslim karya An-Nawawy (2/25)- menyatakan, “Wajib atas setiap orang yang akan mengubah (kemungkaran) untuk mengubahnya (kemungkaran itu) dengan semua cara yang dia mampu, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Maka dia mematahkan alat-alat kebatilan, memecahkan sendiri tempat minuman-minuman yang memabukkan atau dia menyuruh orang lain melakukannya, dan dia mencabut (baca: mengambil) tanah yang dirampas dan mengembalikannya kepada pemiliknya”.

c. Dia sudah selesai melakukan kemungkaran dan tidak ada yang terlihat kecuali bekas-bekasnya. Misalnya ada seseorang yang sudah selesai minum khamar dan nampak bahwa dia sedang mabuk atau ada seorang lelaki yang diketahui bujangan, tiba-tiba keluar dari rumahnya seorang wanita yang bukan mahramnya. Maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, yang wajib bagi atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar hanyalah menasehati dan memperingatkannya agar dia tidak mengulanginya di masa yang akan datang. Adapun untuk menghukum atau menegakkan hadd terhadapnya, maka ini adalah urusan pemerintah atau lembaga yang diwakilkan oleh pemerintah. Oleh karena itulah tidak ada seorangpun yang boleh mengingkarinya dengan tangan, akan tetapi dia melaporkannya kepada pihak yang berwenang agar menghukumnya.

Al-‘Allamah Ibnu Nujaim berkata dalam Al-Bahrur Ro`iq (5/42), “Adapun setelah selesainya -yakni suatu maksiat- maka tidak ada (yang mempunyai urusan) dalam hal itu kecuali hakim (pemerintah)”.

6. Kemungkaran tersebut nampak dengan jelas dan terang-terangan, bukan perbuatan yang diketahui kemungkarannya dengan cara mengintip, mengawasi, atau memata-matai. Karenanya, siapa saja yang menyembunyikan kemungkarannya di dalam rumahnya maka tidak boleh ada seorangpun yang berhak untuk memata-matainya, sepanjang dia tidak menampakkan seseuatu dari kemungkarannya, kapan dia menampakkan sesuatu dari kemungkarannya walaupun hanya diketahui oleh segelintir orang maka wajib bagi yang melakukan nahi mungkar untuk mengingkarinya. Misalnya ada seseorang yang memainkan alat musik di dalam rumahnya, akan tetapi suaranya terdengar oleh sebagian tetangganya atau sekelompok orang yang minum khamar di dalam rumah akan tetapi suara kegiatan mereka terdengan oleh sebagian orang, maka dalam keadaan seperti ini dan yang semisalnya, wajib atas orang yang akan beramar ma’ruf dan nahi mungkar untuk mengingkarinya.

7. Kemungkaran tersebut adalah perkara yang diketahui kemungkarannya secara jelas dan disepakati, bukan sesuatu yang merupakan kemungkaran menurut ijtihad. Akan tetapi kalimat ‘menurut ijtihad’ tidak boleh dipahami terlalu luas sehingga meninggalkan mengingkari suatu perbuatan yang jelas kemungkarannya hanya karena ada ulama yang berpendapat dengannya. Perlu diketahui, bahwa perselisihan di kalangan para ulama ada dua jenis:

a. Perselisihan yang sifatnya ada keluasan, yakni masing-masing pendapat berlandaskan dalil yang bisa diterima (3). Maka dalam hal ini, tidak ada seorangpun yang boleh mengingkari yang lainnya dan memaksanya untuk mengikuti pendapat yang dia pilih, yang ada hanyalah menasehati serta menjelaskan yang benar -menurut dia- agar mereka semua keluar dari perselisihan. Sebagian ulama membolehkan adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam perkara ini, dengan syarat orang yang melakukannya adalah seorang yang sudah mencapai jenjang mujtahid.

b. Perselisihan yang tidak ada keluasan di dalamnya, yaitu penyelisihan yang ganjil (arab: syadz) atau penyelisihan yang batil dan tidak teranggap karena tidak dibangun di atas satupun dalil yang bisa diterima, seperti pendapat yang menyelisihi nash Al-Qur`an atau hadits yang shohih mutawatir atau hadits hohih yang masyhur atau menyelisihi ijma’ atau menyelisihi apa yang diketahui secara darurat (4) dari perkara agama. Maka penyelisihan-penyelisihan yang bentuknya seperti ini tidaklah diperhitungkan, sehingga tetap wajib untuk mengingkari semua perkara yang menyelisihi perkara-perkara di atas.Misalnya, boleh memotong jenggot jika panjangnya sudah sampai ukuran tertentu atau boleh membangun kubah di atas kuburan atau boleh melihat seluruh tubuh wanita tanpa berpakaian saat nazhor atau yang sejenisnya Semua perkara ini, walaupun ada segelintir ulama yang berpendapat dengannya, akan tetapi tetap wajib untuk diingkari dengan tegas karena pendapat-pendapat mereka tidak dibangun di atas dalil-dalil yang bisa diterima bahkan menyelisihi dalil-dalil yang jelas menunjukkan larangannya, wallahu A’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- menyatakan, “Adapun jika dalam suatu masalah tidak ada sunnah dan tidak pula ijma’ dan ada tempatnya berijtihad dalam masalah itu, maka orang yang mengamalkannya tidak boleh diingkari, (sama saja) apakah yang mengamalkannya adalah seorang mujtahid atau muqillid (orang yang mengikuti seorang ulama)”. Lihat Al-Adabus Syar’iyyah karya Ibnu Muflih (1/190) (Lihat: Haqiqatul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Mungkar karya Dr. Ahmad bin Nashir Al-‘Ammar hal. 56-75 dan 142-159 dan Al-Qaululul Bayyinul Azhhar karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rojihy hal. 32-34)
E. Ancaman atas Orang yang Perbuatannya Menyelisihi Ucapannya

Yang wajib bagi setiap muslim yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah mengikuti kebenaran yang dia perintahkan dan menjauhi larangan yang dia larang. Dan telah datang nash-nash ancaman yang sangat pedih dan cercaan yang menghinakan atas orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar lantas perbuatan dan tindak-tanduknya menyelisihi apa yang dia ucapkan. Berikut di antaranya:

1. Surah Al-Baqarah ayat 44:

“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri-diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?”.

2. Surah Ash-Shoff ayat 2 dan 3:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan”.

3. Dan dalam surah Hud ayat 88, Allah swt. menghikayatkan ucapan Syu’aib -’alaihis salam-:

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.

4. Hadits Usamah bin Zaid -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Akan didatangkan seorang lelaki pada Hari Kiamat lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka, maka keluarlah usus-usus perutnya kemudian dia mengelilinginya seperti keledai mengelilingi penggilingan. Maka penduduk nerakapun berkumpul di sekitarnya lalu mereka berkata, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankan dulunya (di dunia) kamu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?”, maka dia menjawab, “Betul, dulu saya memerintahkan kepada yang ma’ruf tapi saya sendiri tidak mengerjakannya dan saya melarang dari yang mungkar tapi saya sendiri yang melanggarnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

5. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’:
أُتِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ تَقْرُضُ شَفَاهَهُمْ بَمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ, كُلَّمَا قُرِضَتْ وَفَّتْ. فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلاَءِ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ وَيَقْرَءُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَلاَ يَعْمَلُوْنَ بِهِ.
“Pada malam saya Isra`, saya didatangkan kepada sebuah kaum yang menggunting bibir-bibir mereka sendiri dengan gunting-gunting dari api neraka, setiap kali bibirnya (selesai) digunting maka akan kembali (seperti semula). Maka saya bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka?”, dia menjawab, “(Mereka adalah) para khathib (tukang ceramah) dari ummatmu yang mereka ini mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak mengerjakannya dan mereka membaca kitab Allah tapi mereka tidak beramal dengannya”. (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohihul Jami’ no. 129)

Dan sungguh benar ucapan seorang penya`ir tatkala dia menyatakan:
لاَ تَنْهَ عَنْ خُلُقٍ وَتَأْتِيَ مَثْلَهُ عَارٌ عَلَيْكَ إِذَا فَعَلْتَ عَظِيْمُ
“Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak sedang engkau sendiri melakukannya, suatu aib yang besar jika engkau melakukan hal tersebut”.
Dan yang lainnya berkata:
وَغَيْرُ تَقِيٍّ يَأْمُرُ النَّاسَ بِالتُّقَى طَبِيْبُ يُدَاوِي النَّاسَ وَهُوَ مَرِيْضُ
“Seorang yang tidak bertaqwa memerintahkan manusia untuk bertakwa, seorang dikter mengobati manusia sedang dia sendiri sedang sakit”.
Catatan:
Semua dalil-dalil di atas tidaklah menunjukkan bahwa pelaku maksiat tidak boleh atau tidak wajib menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dan tidak juga menunjukkan bahwa jika seseorang belum sanggup melaksanakan suatu perintah dan masih mengerjakan maksiat tertentu, maka tidak boleh atau tidak wajib baginya untuk memerintahkan kewajiban tersebut kepada orang lain serta tidak boleh atau tidak wajib baginya melarang orang lain dari maksiat tersebut. Tapi yang wajib baginya adalah tetap menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sambil menjaga dirinya agar tidak terjatuh ke dalam suatu maksiat atau meninggalkan suatu larangan, dan kapan dia melanggarnya apa yang dia sendiri telah ucapkan -karena menyepelekan hal tersebut- maka ancaman-ancaman dalam dalil-dalil di atas berlaku untuknya.
Imam Al-Qurthuby berkata dalam Tafsirnya (6/253-254), “Ibnu Athiyyah berkata, “Para ulama terkemuka mengatakan, “Bukan termasuk syarat (wajib) bagi orang yang melarang (kemungkaran) adalah orangnya (yang melarang tersebut-pent.) harus selamat dari maksiat, bahkan (wajib) bagi para pelaku maksiat untuk saling larang-melarang di antara mereka”.
Imam An-Nawawy berkata dalam Syarh Shohih Muslim (2/23), “Tidak disyaratkan bagi orang yang memerintahkan (kebaikan) dan melarang (kemungkaran) harus sempurna keadaannya, (dalam artian) dia mengamalkan apa yang dia sendiri perintahkan dan menjauhi apa yang dia sendiri larang. Bahkan wajib baginya untuk memerintahkan (kebaikan) walaupun dia sendiri tidak mengamalkan apa yang dia perntahkan serta (wajib baginya untuk) melarang walaupun dia sendiri melakukan apa yang dia larang. Karena sesungguhnya yang baginya adalah dua perkara: (1)Memerintahkan dan melarang dirinya dan (2) memerintahkan dan melarang orang lain. Maka jika dia meninggalkan salah satunya, bagaimana mungkin dia dibolehkan untuk meninggalkan yang lainnya?!”.

Ini merupakan pendapat hampir seluruh ulama dan inilah yang kuat dari dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Oleh karena itulah Imam Malik dan Imam Sa’id bin Jubair pernah berkata, “Sekiranya seseorang itu tidak mau/tidak boleh menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar sampai tidak ada padanya sesuatu apapun (berupa maksiat-pent.), niscaya tidak akan ada seorangpun yang menegakkan amar ma’ruf dan (tidak akan ada seorang pun yang menegakkan) nahi mungkar”. (Jami’ li Ahkamil Qur`an: 1/367-368).

Semoga Allah merahmati Imam Al-Hasan Al-Bashri tatkala beliau berkata kepada Muthorrif ibnu ‘Abdillah, “Berilah peringatan kepada temnan-temanmu”, maka dia menjawab, “Saya takut jikalau saya mengatakan kepada mereka sesuatu yang tidak saya amalkan”, maka beliau menjawab, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang telah mengamalkan apa yang dia telah ucapkan?! Setan berharap dia bisa menang dengan (tipuan semacam) ini, sehingga tidak akan ada seorangpun yang akan memerintahkan kebaikan dan (tidak akan ada seorang pun) yang akan melarang kemungkaran”. (Jami’ li Ahkamil Qur`an: 1/367)

_______________________________________________________________________
(1)     Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam ayat sebelumnya, “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kalian menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka (orang-orang yang melarang) menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. (QS. Al-A’raf : 164)
(2)     Yakni mereka (golongan ketiga) tidak mengingkari golongan yang binasa karena sudah ada orang yang mengingkari mereka, dan ini membuat kewajiban mereka gugur.
(3)     Yakni Al-Qur`an, hadits yang shohih, ijma’, dan kias yang jelas. Kebanyakan perselisihan fiqhiyah sifatnya seperti ini, misalnya: masalah menggerak-gerakkan jari saat tasyahhud, bersedekap saat i’tidal, mengepalkan tangan ketika mau berdiri dalam sholat, dan yang semisal dengannya.
(4)     Yakni perkara yang keharamannya diketahui tanpa harus mempelajarinya, misalnya: membunuh, mencuri, berzina, riba, minum khamar, dan yang semisalnya.

=========================================

Ingin Belajar Bisnis Online..... "Disini Tempatnya"



Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Pengelola Website | Rahasia Wabsite Pemula
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Copy Vaste - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template