Pengertian Psikologi Agama - Copy Vaste
Headlines News :
Home » » Pengertian Psikologi Agama

Pengertian Psikologi Agama

Written By Copy Paste on Selasa, 14 Februari 2012 | 02.38


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Psikologi Agama dan Pengertian Pendidikan Agama Islam
1.      Pengertian Psikologi Agama
Secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang normal, dewasa dan beradab.(jalaludin, et al, 1979:77)[1]
Menurut Prof. Dr Zakiah drajat, psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya.[2] Disamping itu psikologi juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada orang serta faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.(Zakiah Daradjat, 1970:1)
Masih banyak lagi definisi dari psikologi agama. Secara umum psikologi mencoba meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala yang berada dibelakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak , maka untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu pada sikap dan tingkah laku yang ditampilkannya.
2.      Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan merupakan proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. PAI adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of  life)[3] demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akherat.
Pendidikan agama merupakan bagian pendidikan yang amat penting yeng berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, antara lain akhlak dan keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Berkaitan dengan pendidikan maka islam telah memerintahkan menuntut ilmu sejak dari kandungan sampai liang lahat.
Artinya sejak anak dalam kandungan, sikap ibu, perbuatan ibu akan dapat mempengaruhi anak yang dikandungnya. Setelah lahir ibulah yang pertama-tama mendirikannya, mengajarnya berbicara, bersikap, sopan santun yang bauk.
B.     Teori Psikologi Agama Sebagai Dasar Strategi Perumusan PAI
Pendidikan Agama Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Dalam pendidikan, seorang pendidikan harus mampu mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan. Upaya untuk mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan yaitu dengan cara mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi untuk meneliti tingkah laku manusia.
Banyak  teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan dalam psikologi agama untuk mengembangkan pemahaman kepercayaan seseorang terhadap adanya hal-hal yang abstrak yang terdapat dalam ajaran agama islam.
Teori psikologi agama dalam pendidikan agama Islam sangat penting sebagai dasar strategi perumusan PAI.
            Teori psikologi agama sebagai dasar strategi pendidikan agama islam diperlukan bagi para orang tua dan pendidik dalam memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak dalam beragama. Orang tua  mempunyai tanggung jawab dalam memperhatikan perilaku-perilaku anak terutama dalam kaitannya dengan agama, sedangkan para guru atau pendidik meneruskan. Orang tua dan para guru dalam pendidikan islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing, pengembang beserta pengaruh potensi yang dimilki anak agar mereka menjadi pengabdi Allah yang dapat berperan sebagai khalifah Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat penciptaan manusia (Qs 51:56) dan sebagai khalifah di bumi (Qs 2:30).
            Pendidikan Agama Islam erat kaitannya dengan psikologi agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai pendekatan pendidikan agama islam. Contoh mengenai bagaimana hubungan antara psikologi dan pendidikan agama islam di awal perkembangan agama ini yaitu :
Pada suatu hari setelah mencapai usia anak-anak, hasan dan husen pernah dihadapkan pada seseorang dewasa yang keliru dalam berwudhu, kedua cucu Rosul SAW. Tersebut tidak menegur orang tadi, walaupun mereka sudah tahu bagaimana cara berwudhu yang benar, menegur langsung bagaimanapun tidak etis, apalagi terhadap orang yang lebih tua.
Dalam situasi yang seperti itu Hasan dan adiknya menggunakan pendekatan dan strategi yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya. Tanpa menyinggung perasaannya mereka berdua kemudian pura-pura mengadakan perlombaan cara berwudhu yang benar.
Lelaki yang berada disamping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat cucu Rosul SAW. Sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan dialog antar keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru. Sadar akan kekeliruannya maka lelaki itu minta diajarkan cara berwudhu yang sebenarnya.[4] Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rosul SAW agar dalam memberikan pendidikan disesuaikan dengan kadar kemampuan atau nalar seseorang. Dengan demikian dalam  menghadapi orang masih awam terhadap agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang pendidikan agama.
Dalam mendidik anak pada umur 7 tahun pertama dengan cara belajar sambil bermain atau bergurau, dan pada7 tahun kedua cara dan strategi dalam mengajarkan anak tentang agama dengan disiplin  moral, kemudian pada 7 tahun ketiga mendidik dengan memperlakukan mereka seperti sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir Mursyi, 1989:32)
Dalam kaitanya dengan teori psikologi agama disini akan dibahas beberapa teori psikologi agama sebagai berikut:
C.    Teori perkembangan kepercayaan James W. Fowler
James Fowler adalah ilmuan yang mengembangkan teori perkembangan kepercayaan sejak tahun 1968-1969. Fowler membatasi kepercayaan eksisitensial sebagai “cara seseorang pribadi dan kelompok berada di dalam hubungan dengan lingkungan yang paling akhir.[5]
Pada hakekatnya Fowler memandang kepercayaan Eksistensial sebagai suatu kegiatan “Relasional” sebagai “berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu”. Fowler pertama-tama melihat “kepercayaan Eksistensial” sebagai “rasa percaya” dalam bentuk pisteuo (bahasa yunani), yaitu “saya percaya dalam arti bahwa saya menyerahkan diri seluruhnya dan mengandalkan Engkau”. Kepercayaan Eksistensial bukanlah sekedar kegiatan pemberian arti, tetapi juga proses dinamis pemberian arti itu sendiri. Proses tersebut terwujud dalam urutan sejumlah tahap perkembangan kepercayaan kesemuanya itu di ungkapkan dengan sebuah istilah dinamis yang agak aneh dalam bahasa inggris, yaitu Faithing.
 “Faith Development Theory” adalah usaha psikologi ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Begitu sentralnya kata “perkembangan” itu bagi Fowler sehingga dipilih sebagai karakteristik pendekatan psikologisnya yang baru yaitu Faith Development Theory.[6]
Kata teori oleh Fowler dimaksudkan sebagai sebuah teori ilmiah yang psikologis, atau lebih khas lagi “Teori Perkembangan” (Development Theory) yang cocok untuk memahami dan merumuskan seluruh seluk beluk perkembangan kepercayaan. Teori perkembangan merupakan suatu usaha ilmiah yang mau menguraikan secara empiris dan mengerti secara teoritis seluruh proses transformasi kepercayaan yang hidup. Dalam hubungan dengan pendidikan teori perkembangan kepercayaan dapat sebagai dasar strategi perumusan pendidikan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan.
D.    Tahap-Tahap Perkembangan Eksistensial
1.      Tahap 0 : Kepercayaan Elementer Awal (Primer Faith)
Tahap ini timbul pada pratahap (pre-stage, yaitu masa orok, bayi 0 sampai 2 tahun atau 3 tahun) disebut juga kepercayaan yang belum terdiferensiasi:
a.       Ciri disposisi praverbal si bayi terhadap lingkunganya yang belum dirasakan dan didasari sebagai hal yang terpisah dan berbeda dari dirinya
b.      Daya-daya seperi kepercayaan dasar, keberanian, harapan dan cinta (serta daya-daya lawanya) belum dibedakan lewat pertubuhan, melainkan saling tercanpur satu sama lain dalam suatu keadaan yang samar-samar. Pola kepercayaan ini disebut elementer, awal dan dasariyah. Kepercayaan ini bersifat preliguistis.
Rasa percaya baik timbul dari pengalamaan pengasuh yang memeliharanya sebagai pribadi yang dicuntai dan sangat penting. Kepercayaan yang khas ini menimbuklkan sejumlah pragambaran yang praverbal dan prakonseptual tentang suatu realitas akhir yang sangat kuat dan dapat diandalkan sehingga anak dapat mengatasi ketakutan yang dialaminya sepanjang perkembangan, sebagai akibat dari segala pengalaman keterpisahan dan ancaman ketidakan itu.
2.      Tahap 1: kepercayaan intuitif- proyektif (intuitive-projektiv faith)
Pola eksistensial yang intuitif-proyektif menandai daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan operasi logis yang mantap. Demikian pula kesanggupan untuk membeda-bedakan perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain serta mengkoordinasikan perspektifnya sendiri itu dengan perspektif mereka masih sangat terbatas. Dunia pengalaman disusun berdasarkan kesan-kesan indrawi-emosional yang kuat, sehingga persepsi dan perasaan menjadi tercantum dan menimbulkan gambaran intuitif dan kongkrit yang mendalam dan bertahap. Imajinasi berkembang secara bebas karena balum dikontrol oleh pikiran logis dan operasi-oprasi kognitif lain yang baru dikembangkan kemudian. Daya imajinasi dan dunia gambaran itu dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, ucapan, simbol-simbol dan kata-kata.[7]
Tahap ini membuka kepekaan anak terhadap dunia misteri dan yang ilahi seta tanda-tanda nyata kekuasaan. Gambaran intuitif  kongkrit imajinatif ini menyingkapkan keinsyafan akan misteri hidup dan yang suci. Dunia gambaran imajinasi ini menguasai seluruh hidup efektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak. Gambaran-gambaran tersebut menjadi kuat, bertahan lama dan tetap mempengaruhi secara positif dan negatif. Seluruh khasahan dan kognitif kepercayaan anak dikemudian hari dalam tahap ini segala gerak, ucapan isyarat dpat digunakan sebagai strategi pendidikan agama islam untuk mengungkapkan dan menajarkan pemahaman kepercayaan kepada anak.
3.      Tahap 2: kepercayaan mitos-harfiyah (mithic-literal faith)
Tahap ini pada umur 7-12 tahun. Seluruh bekal khasanah gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat pada tahap ini, namun muncul pola operasi-operasi logis baru yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi dari tahun sebelumnya.[8]
Pada tahap ini anak belajar melepaskan diri dari sikap egoisentris, mulai membedakan antara persepektifnya sendiri dan orang lain. Berkat daya logika baru dan pengabilan persepektif orang lain tersebut, akan tetapi anak sanggup memeriksa dan menguji gambaran serta pandangan religiusnya dengan tolak ukurnya sendiri, pengecekan atau pengamatanya, dan pandangan religius (pikiran, keyakinan) orang dewasa yang diandalkan sebagai sumber autoritas. Anak mengandalkan orang dewasa sebagai instansi wibawa moral. Pandangan moralnya menuntut bahwa yang baik harus duhadiahi dan yang jahat harus dihukum.
Tahap ini ceritalah yang menjadi sarana utama anak untuk mengumpulkan barbagai arti menurut sifat keterkaitanya dan untuk membentuk pendapatnya. Cara menggunakan simbol dan konsep-konsep dalam baerbagai cerita sebagian besar masih bersifat kongkrit dan harfiah, dunia pengalaman disusun menurut sekema “linear” serta sifat “dapat diramalkan”. Maka cerita-cerita dengan gaya kisah menjadi  sarana yang paling cocok untuk menangkap arti dan makna hidup serta dunia. Tahap ini dapat dijadikan strategi dalam perumusan pendidikan agama islam dengan cerita-cerita para Rosul dan kisah-kisah nabi sebagai cara untuk mengembangakan pengetahuan tentang kepercayaan agama islam.
4.      Tahap 3: kepercayaan sintesis konvensional (synthetic-conventional faith)
Tahap ini pada masa adolesen (12-20 tahun). Dalm umur 12 tahun remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya memberi arti. Munculnya kemampuan kognitif baru, yaitu operasi-operasi formal, maka remaja mulai mengambil alih pandanga pribadi orang lain menurut pola “pengambilan perspektif antara pribadi secara timbal balik” (aku melihat engkau melihat diriku, dan aku melihat diriku sebagaimana, menurut hematku, engkau melihat dirikun. Sepadan dengan hal itu: engkau melihat dirimu sendiri sesuai pandanganku tentangmu, dan engkau melihat dirimu sendiri sebagaimana, menurut hematku aku melihat dirimu). Tugas pokok tahap ini adalah upaya menciptakan sintesis identitas, karena itu tahap ini disebut “sintesis”.[9]
Pada tahap ini remaja menyusun gambaran yang agak personal mengenai lingkungan akhir. Allah yang ”personal” merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik dari pada pengenalan diri saya sendiri. Pada tahap ini remaja bisa mengenal siapa dirinya sendiri. Banyak orang dewasa tinggal dalam tahap kepercayaan ini, biarpun secara biologis dan psiko sosial mereka telah melewati tahap adolesen dan masa dewasa awal.
5.      Tahap 4: kepercayaan individuatif-Reflektif (individuative-reflektive faith)
Tahap muncul pada umur 20 tahun keatas (awal masa dewasa). Pola kepercayaan eksistensial ini ditandai oleh lahirnya refleksi kritis atau seluruh pendapat, keyakianan dan nilai (religius) lama. Pribadi sudah mampu melihat diri sendiri dan orang lain sebagai bagian dari suatu sistem kemasyarakatan, tetapi juga yakin bahwa dia sendiri yang memikul tanggung jawab atas penentuan pilihan idiologi dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk meningkatkan diri dengan cara menunjukan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas. Selain disebut sebagai pola kepercayaan reflektif pada tahap ini disebut juga kepercayaan “individuatif”  karena manusia pertama kalinya dalam merefleksikan diri tidak semata-mata bergantung pda orang lain, tetapi dengan kesanggupannya sendiri mampu mengadakan dialong antar berbagai “diri” sebagaimana dilihat dan dipantulkan orang-orang dengan “diri sejati” yang hanya dikaenal oleh pribadi yang bersangkutan itu sendiri. Dalam tahap ini manusia mengalami dirinya sebagai pribadi yang khas, unik sebagai subyek aktif, kritis dan kreatif dan penuh daya. Pribadi tersebut yakin bahwa manusia adalah subyek bebas dan kritis serta pelaku aktif yang memikul tanggung jawab kritis dalam menentukan pilihannya sendiri. Dan memilih pandangan dunia, idiologi dan gaya hidup pribadi yang memungkinkanya menjalin hubungan baru (kesetiaan dan komitmen) dengan orang lain berdasarkan itu ia menentukan partisipai aktifnya dalam sistem kemanyarakatan dan menemukan sendiri panggilan serta tugas pribadi yang khas dalam masyarakat dan kelompoknya.
6.      Tahap 5: Kepercayaan Eksistensial Konjungatif
Tahap ini timbul pada masa usia pertengahan (sekitar umur 35 tahun ke atas) tahap kelima dari “faith Development”.[10] Tahap ini ditandai oleh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polarisasi, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kebenaran hanya akan terwujud apabila paradoks dan sebagainya itu diakui dan diungkap dalam bentuk pemikiran dialektis. Orang mencari berbagai cara dan daya untuk mempersatukan pertentangan-pertentangan yang terdapat didalam pikiran dan pengalamannya, karena sadar bahwa manusia membutuhkan sebuah tafsiran majemuk terhadap kenyataan multidimensional. Tahap ini orang menjadi lebih peka terhadap fakta bahwa hidup kita lebih  merupakan anugerah pemberian daripada hasil rasional kita sendiri. Perhatian utama ditujukan pada upaya membuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketidaksadarannya, dan melampaui egoisentrisnya yang tertutup.
7.      Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial yang mengacu pada Universalitas
Tahap ini pada umur 45 tahun ke atas. Pribadi melampaui tingkatan paradoks dan polaritas, karena gaya hidupnya langsung berakar pada kesatuan  dengan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Identifikasi dan partisipasi dengan Yang Ultim (Yang Satu dan Tunggal) sebagai dasar dan sumber segala yang hidup menjadi mungkin, karena pribadi berhasil melepaskan diri dari egonya dan dari pandangan bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolok ukur kehidupan yang mutlak. Dia melampaui keterikatan pada pusat-pusat nilai dan kekuasaan yang terbatas dan relatif, serta memperoleh semangat bhidup dari penyerahan diri total dan rasa bersatu dengan Realitas Transenden yang satu dan tunggal.[11]
 Seluruh gaya hidup diliputi dan diresapi oleh semangat cinta inkluisif dan universal terhadap seluruh gejala hidup dan segala makhluk, dan karena sang pribadi sendiri senangtiasa melampaui-diri secara polos dan spontan, maka ia dapat bertindak dengan agak bebas dan autentik berdasarkan visi dan perhatian luas yang revolusioner.

<< Kembali  |  Next >>


[1] Jalaludin, 2002, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Prasada. Hlm. 10
[2] Zakiah Daradjat, dkk, 2004, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
[3] Zakiah Daradjat, dkk, 2004, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 86
[4] Jalaludin, 2002, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Prasada. Hlm.20
[5] James W Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[6] James W Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[7] James W Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[8] James W. Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[9] James W. Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[10] James W. Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.
[11] James W. Fowler, 1995, Teori Perkembangan Kepercayaan, Yogyakarta: Kanisius.


Ingin Belajar Bisnis Online..... "Disini Tempatnya"



Share this article :

1 komentar:

 
Support : Pengelola Website | Rahasia Wabsite Pemula
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Copy Vaste - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template